Menjelajah Sisi Lain Bandung


"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." Sebuah kutipan yang terkenal dari seorang penulis bernama Pidi Baiq. Memang benar adanya bahwa Bandung merupakan sebuah tempat istimewa bagi banyak orang dari seluruh pelosok negeri, tak terkecuali aku, seorang pejalan amatir yang selalu tak tahan untuk tidak menjelajahi setiap jengkal sisi baik dari negeri ini, dan Bandung adalah titik pemberhentian terbaru ku.
Ini bukan kali pertama aku menginjakkan kaki di tanah Bandung. Tapi ini akan menjadi kali pertama ku menjelajahi bandung dari sisi yang tak biasa. Ya, tak biasa, aku mengunjungi tempat yang tak biasanya dikunjungi oleh orang-orang dari luar Bandung yang kerap disebut wisatawan lokal, tentu saja karena aku bukanlah seorang wisatawan, aku lebih senang menyebut diriku sebagai seorang pejalan, meskipun masih amatiran.
Jum'at malam di penguhujung September, aku dan seorang teman baik ku bertolak dari ibu kota menuju Bandung dengan menumpangi mobil teman baik ku itu, Fajar namanya. Ibu Kota waktu itu masih penuh sesak dengan hiruk pikuk kemacetan. Maklum saja, warga jakarta sedang merayakan hari-hari bahagia setelah menerima gaji bulanan. Walaupun sudah mendekati tengah malam, aku masih terjebak diantara jejeran mobil menuju pintu tol kearah Bandung, ternyata warga Jakarta yang sedang berbahagia tadi juga hendak merayakan akhir pekan sekaligus hari gajian mereka diluar Jakarta.
Hari sabtu sebelum subuh kami telah sampai di Bandung. Aku telah menghubungi seorang teman baik lain yang tinggal di Bandung untuk menemani perjalanan kali ini, namanya Kang Wira. Nantinya Kang Wira yang akan menemani kami untuk menjelajahi sisi lain dari Bandung.
Tepat saat matahari hampir menampakkan diri, Kang Wira juga telah menanti kedatangan kami di beranda rumahnya. Ketika sampai, Aku dan Fajar langsung disuguhi secangkir kopi arabika malabar, kopi dari tanah parahyangan yang terkenal bercita rasa tinggi dimata para pecinta kopi, kebetulan aku salah satu pecinta kopi nusantara. Sungguh nikmat sekali pagi itu, menyeruput kopi asli Indonesia dengan ditemani Cireng, sebuah cemilan khas dari Sunda. Kami tak mau menyianyiakan waktu, setelah menyeruput secangkir kopi, maka perjalanan kami menelusuri sisi lain Bandung pun dimulai. Tapi sayang sekali Fajar yang menyetir mobil dari Jakarta sudah kehabisan tenaga dan memutuskan untuk istirahat pada hari ini. Tapi aku dan kang wira tetap berangkat.
Seiring matahari yang bergerak naik, Aku dan Kang Wira juga sedang bergegas menaiki motor dan memulai perjalanan. Kali ini perjalanan kami menuju daerah Lembang, kami berencana menikmati pagi dan menghirup kesegaran udara dengan sedikit kabut yang sudah lama tak aku jumpai di Ibu Kota. Motor yang kami tumpangi merangkak naik menuju tanjakan dari Kota Bandung ke arah Lembang, belum banyak kendaraan yang lalu lalang pagi itu.
Sekitar satu jam perjalanan, kami sampai di Lembang dan langsung menuju kawasan Gunung Putri. Tapi kali ini kami tak menuju ke lokasi tempat wisata Gunung Putri, tapi sebelum memasuki gerbang tempat wisatanya, kami berbelok sedikit kearah bukit didekat kebun warga. Motor yang kami tumpangi kami parkirkan di sebuah mesjid tak jauh dari situ.
Aku hirup kesegaran udara ketinggian itu, segar sekali. Udara yang sudah cukup lama tak aku nikmati. Aku manjakan mataku sejenak memandangi hutan-hutan hijau yang masih diselimuti kabut tipis. Kang Wira mengajakku memulai berjalan ke sebuah bukit, tak terlalu terjal jalannya. Semilir angin mengiringi langkah kaki kami menuju puncak bukit, sesekali binatang-binatang kecil melompat-lompat dari rumput ke rumput yang masih dibasahi embun, tupai-tupai yang bersarang di pohon-pohon pinus menyambut kedatangan kami. Setelah melewati beberapa tanjakan yang tak terlalu terjal, aku mulai melihat kabut pagi yang masih sudi menutupi hutan dan sebagian perkampungan dibawah bukit dan akhirnya kami sampai diatas bukit. Tak ada siapa-siapa disitu kecuali kami berdua. Aku kembali terpesona ketika pancaran sinar matahari yang sedikit kuning menyeruak ke permukaan kabut dibawah ku, pohon-pohon kecil meliuk-liuk kesana kemari karena di buai angin ketinggian, aku sungguh takjub dengan segala keindahan ini, dan kembali hatiku bersyukur masih dapat menghirup kesegaran udara ini dengan pemandangan yang luar biasa mempesona.

Sembari aku menikmati pagi dengan memandangi kabut kabut lembut dibawah bukit, Kang Wira ternyata telah mengeluarkan kameranya dan memotret keindahan alam kawasan Gunung Putri ini.  Aku juga tak mau ketinggalan, aku ambil beberapa gambar dengan kamera ku. Sungguh kenikmatan yang sangat sayang untuk dilewatkan, tidak seperti tempat-tempat terkenal lainnya di Bandung, Kawasan Gunung Putri yang aku kunjungi kali ini benar benar sepi, damai, dan jauh dari hiruk-pikuk manusia, sangat mendamaikan dan menyegerkan hati dan pikiranku.
Memotret momen keindahan di sudut Bandung
Dari sini aku belajar, bahwa semua tempat di negeri ini memiliki keindahannya masing-masing. Tak perlu jauh-jauh untuk menemukan keindahan-keindahan itu, hanya saja kita yang harus merubah sudut pandang kita kearah yang lebih positif, jangan memandang segala sesuatu dari kejelekan atau hal negatifnya saja.
Bandung kini bagiku bukan hanya sekedar tempat untuk berkunjung, banyak cerita damnpelajaran yang telah aku dapat dari sini. Bandung benar-benar memberiku pelajaran akan sebuah perjalanan dan pertemuan dengan orang-orang baru yang lebih dari sekedar teman.
Perjalanan yang baik menurutku akan sampai kepada tempat yang baik pula, dan akan dipertemukan dengan orang-orang yang baik pula. Bukan sekedar tujuan akan suatu destinasi yang semestinya kita utamakan, tapi bagaimana sebuah proses demi proses yang kita lewati. Terimakasih Bandung dengan segala keistimewaannya, terimakasih kawan-kawan Bandung.
  • Sebagai catatan : tidak ada biaya masuk ke tempat ini karena memang bukan lokasi wisata, lokasi wisata Gunung Putri berada tidak jauh dari tempat ini dan masih dalam satu kawasan desa. Hanya perlu sekitar lima menit dengan menggunakan kendaraan bermotor menuju tempat wisata gunung putri.

Tokoh :
- Aku (Instagram : @baratdaya_ )
- Kang Wira (Instagram : @iraswira )
- Fajar (Instagram : @mafajaranugrah )

Menggapai Atap Sumatera

"Is not the mountain we're conquer, but our self"
-Sir Edmund Hillary-
Bukan Gunung yang harus kita taklukan, tapi diri kita sendirilah yang semestinya ditaklukan. Sebuah kutipan dari seorang pendaki pertama yang menginjakkan kaki di puncak tertinggi dunia, puncak Gunung Everest. Kutipan yang seakan membiusku untuk melakukan perjalanan pendakian ke puncak-puncak tertinggi di Indonesia. Dan kali ini pilihanku adalah atap Sumatera, puncak Indrapura Gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 meter diatas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia, gunung tertinggi kedua setelah puncak Cartenz di Papua.
Penghujung Oktober 2015, perjalanan yang telah aku rencanakan akhirnya terlaksana. Awalnya Aku cukup kesulitan mencari seorang teman perjalanan menuju atap pulau sumatera ini. Meskipun aku sudah beberapa kali melakukan pendakian, tapi kali ini akan menjadi sangat berbeda karena pendakian ke Gunung Kerinci baru pertama kali aku lakukan. Mengingat aku sangat awam dengan track gunung ini, maka sangat tidak mungkin untuk melakukan pendakian seorang diri. Menurut beberapa artikel perjalanan yang Aku baca di Internet dan menurut cerita pengalaman kawan-kawan pendaki, Gunung Kerinci merupakan salah satu gunung dengan jalur yang cukup sulit dan sangat melelahkan.
Pagi hari ke dua puluh enam bulan oktober 2015, aku baru saja menyelesaikan pendakian dari Gunung Marapi di Sumatera barat dan baru tiba di rumah ku di Kota Payakumbuh, masih di Provinsi Sumatera Barat. Telepon genggamku berdering, ternyata kawan lama ku yang menelepon, namanya Kiting. Aku berbincang-bincang beberapa menit dengan Kiting, lalu aku mengutarakan rencana perjalananku kepadanya dan bermaksud mengajaknya. Kiting memang orang yang cukup aktif di dunia pendakian dan punya jam pendakian yang lebih banyak dari ku. Ternyata Kiting juga punya rencana yang sama dan akhirnya kami memutuskan untuk melakukan perjalanan ini bersama-sama tiga hari lagi. Setelah pendakian dari Gunung Marapi, Aku rasa tiga hari adalah waktu yang cukup untuk beristirahat dan memulihkan tenaga ku untuk melakukan pendakian berikutnya, ke Gunung Kerinci.
Tepat jam tujuh pagi Kiting sudah menunggu ku di depan rumahku dengan ditemani sepeda motornya dan tas gunung tak terlalu besar. Kali ini aku akan menempuh perjalanan dari Kota Payakumbuh menuju Kabupaten Kerinci dengan mengendarai sepeda motor. Jarak dari Kota Payakumbuh ke Kabupaten Kerinci sekitar 300 km, sebenarnya memang tidak disarankan mengendarai motor dengan jarak sejauh itu, tapi karena memang Aku dan Kiting juga seorang penghobi touring, maka sudah biasa bagi kami menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor.
Perjalanan menuju Kabupaten Kerinci kami tempuh dalam waktu kurang lebih 12 jam. Jalan yang kami tempuh pun beragam, mulai dari Kota Payakumbuh kami bertolak ke Kota Batusangkar, sebuah Kota Budaya di Sumatera Barat, dikota ini kami melalui sebuah istana megah dengan atap yang runcing, Istano Baso Pagaruyuang namanya, lalu melalaui perkebunan teh dan danau kembar di kabupaten solok dengan udara yang sangat dingin dan sejuk.
Danau Kembar di Alahan Panjang, Kab. Solok yang kami lalui
Sekitar pukul tujuh malam, kami disambut kabut yang cukup pekat ketika memasuki kawasan perkebunan teh Kayu Aro. Perkebunan teh Kayu Aro ini merupakan salah satu perkebunan teh tertua dan terbesar di Asia dan penghasil salah satu teh hitam terbaik di dunia. Tak disangka kebanyakan teh hitam terbaik yang beredar di Eropa dan Amerika itu berasal dari disini, dari Indonesia.
dsc01204
Gunung Kerinci dan kebun teh Kayu Aro
Basecamp dan homestay tujuan kami berada dalam kawasan perkebunan teh Kayu Aro ini. Kami segera menuju homestay Paiman. Tempat ini sekaligus menjadi basecamp dan merupakan tempat yang sangat direkomendasikan untuk para pendaki Gunung Kerinci karena jaraknya yang tak terlalu jauh dari jalan raya dan harga yang cukup terjangkau. Keesokan harinya, sekitar pukul 7 pagi Aku dan Kiting bertolak menuju pintu rimba Gunung Kerinci dengan menumpangi sebuah mobil elf yang ternyata sudah disediakan oleh pihak Homestay Paiman. Cukup dengan membayar ongkos 10 ribu rupiah para pendaki akan diantarkan langsung menuju pintu rimba yang berjarak sekitar 5 km dari homestay. Di homestay Paiman aku berkenalan dengan beberapa orang pendaki asal Bandung dan serombongan pendaki dari Malang yang sedang melakukan ekspedisi. Inilah makna dari sebuah perjalanan yang sebenarnya, bertemu dengan orang-orang baru dan melakukan perkenalan demi perkenalan dengan orang-orang yang dulu tak pernah kita tahu, menambah jaringan pertemanan dan menyambung tali persaudaraan.
Mengabadikan momen menjelang pendakian di dekat pintu rimba
Setibanya di pintu rimba, Aku dan Kiting merapikan peralatan pendakian dan melakukan pemanasan dan peregangan sebelum melakukan pendakian. Ini sangat penting mengingat jalur yang akan kita lalui ketika mendaki cukup sulit dengan tanjakan dan membawa beban berat dipunggung, sangat berbahaya jika tidak melakukan peregangan otot terlebih dahulu karena akan menyebabkan otot terkejut dan mengalami kram dan cidera lainnya. Sembari bersiap-siap, Aku berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang belakangan aku ketahui adalah seorang porter Gunung Kerinci yang juga akan melakukan pendakian bersama tamunya pada pagi itu. Aku dan Kiting sengaja tidak menggunakan jasa porter karena kami hanya pergi berdua dan tak terlalu banyak membawa barang bawaan. Dari percakapan singkat tadi aku mengetahui satu hal yang cukup unik, ternyata pemuda ini bisa mengerti dan paham dengan tiga bahasa daerah yang berbeda, bahkan dia dengan fasih bisa mengucapkannya. Bahasa pertama yang dia kuasai tentu saja bahasa orang asli Kerinci, bahasa kedua adalah bahasa daerah Minangkabau, dan yang ketiga adalah bahasa Jawa. Itulah kenapa bisa aku berkomunikasi dengan pemuda ini dengan bahasa asli daerahku, bahasa Minangkabau. Ternyata setelah aku tanya, Pemuda ini merupakan orang asli Jawa, dia dan orang tuanya pindah dari Jawa ke Kerinci karena transmigrasi dan jadi paham bahasa Kerinci. Karena di Kerinci ini juga banyak orang Minangkabau dan letaknya tak jauh dari Provinsi Sumatera Barat, maka kebanyakan bahasa Minang juga dipakai di daerah ini. Sungguh sebuah keberagaman dan kekayaan dari negeri ini yang patut kita jaga. Sekali lagi aku bangga dengan berbagai bahasa dan budaya dari negeri ku ini, Indonesia.
Salah satu satwa di Rimba Kerinci
Salah satu satwa di Rimba Kerinci
Aku dan Kiting mulai menapaki langkah demi langkah menuju rimba gunung Kerinci. Cuaca cukup cerah pagi ini dan untungnya semalam tidak turun hujan dan jalur pendakian tidak terlalu basah. Rimba Kerinci ini termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dan ternyata menjadi habitat asli dari Harimau Sumatera yang hampir punah. Aku sedikit merinding ketika mendengar cerita dari porter muda ini bahwa tak jarang dia melihat harimau sumatera di sekitar rimba kerinci. Tapi aku kembalikan pada keyakinanku bahwa niat baik pasti akan menemui jalan baik pula.
dsc01208
Pos pertama, bangku panjang
Setelah berjalan sekitar 2 jam, akhirnya Kami tiba di pos pemberhentian pertama. Aku beristirahat sejenak dan meminum beberapa teguk air putih. Tidak terlalu banyak, cukup untuk membasahkan mulut dan melepas dahaga saja, karena kalau terlalu banyak minum air selama perjalanan perut akan menjadi kembung. Aku mengeluarkan sepotong gula aren yang menurut orang-orang tua di kampung ku dapat menambah tenaga, semacam doping alami.
Hutan Belantara Kerinci
Hutan Belantara Kerinci
Aku dan Kiting sepakat untuk melanjutkan perjalanan kembali, kami tetap bersama sama, jika ada satu diantara kami yang kelelahan, kami saling menunggu dan bersabar dalam melalui jalur yang cukup sulit dari gunung Kerinci ini. Karena medan yang cukup sulit dan baru pertama kali kami lalui, kami sedikit ketinggalan dengan porter muda tadi yang langkahnya cukup cepat karena telah paham betul jalurnya dan sudah puluhan kali mendaki ke gunung ini. Dari pos satu menuju pos dua kami tempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dengan jalur yang masih belum terlalu sulit. Setelagh beristirahat sejenak di pos dua, Kami kembali melanjutkan perjalalan menuju pos tiga, disinilah ketakutanku bermula. Kabut cukup tebal menutupi rimba belantara Kerinci. Aku dan Kiting tetap berjalan pada jalur yang terlihat dan tetap saling menolong jika satu diantara kami mengalami kesulitan.
dsc01225
Akar dari pohon tua di jalur pendakian
Konon menurut cerita orang-orang Kerinci, Harimau Sumatera kerap melalui hutan antara pos dua menuju pos tiga. Aku terus berdoa dan tetap meluruskan niat baikku dengan selalu berpikiran positif. Tidak mengganggu alam sekitar dan tidak bertindak ceroboh adalah caraku untuk tetap berpikir positif. Akhirnya sekitar pukul 12 siang aku tiba di pos 3 dan beristirahat sejenak dan melakukan ibadah shalat dzuhur. Perjalanan selanjutnya menuju Shelter satu, di pos tiga aku kembali bertemu dengan seorang porter muda tadi dan dengan beberapa pendaki  yang sedang dalam perjalanan turun. Kami saling menyapa dan saling berbagi makanan kecil. Aku berkenalan dengan dua orang pendaki dari Medan dan berbincang-bincang. Sungguh sangat hangat sambutan orang-orang baru di tengah rimba belantara ini, saling menawarkan kopi dan saling berbagi cerita dengan hangat sedikit mengobati lelah setelah mendaki. Aku berbincang-bincang dengan Togar, salah seorang pendaki dari Medan tadi. Aku menanyakan kepada Togar yang telah kembali dari puncak Kerinci tentang cuaca di atas puncak.
dsc01213
Berhenti dan berbincang-bincang dengaan pendaki lain yang dalam perjalanan turun
"Bah, pas Aku jalan ke puncak sama teman ku ini, Aku diserang badai. Kabut tebal kali tadi pagi pas kami muncak, Kawanku tak sanggup, yasudah tak jadi aku ke puncak, kasihan aku sama temanku". Dengan logat batak yang khas Togar bercerita.
"Wah sayang sekali ya Bang, nggak jadi sampai puncak", sahutku pada Togar.
"Tak apalah, yang penting aku sudah coba track ini, sama teman baik ku pula, itu yang terpenting menurutku, kebersamaannya. Puncak itu urusan belakangan". Togar melanjutkan.
Dari percakapan singkat dengan Togar aku menarik pelajaran yang dalam sekali, bahwa dalam suatu perjalanan bukanlah tujuan yang harus kita kedepankan. Proses lah yang harus kita utamakan, jika proses yang kita lakukan itu baik, maka hasil yang akan kita dapatkan akan baik pula, terlepas dari tujuan perjalanan kita. Dan dalam sebuah pendakian, bukanlah puncak yang harus kita paksakan, tapi kebersamaan dengan kawan sesama pendaki, puncak hanyalah bonus dari sebuah pendakian.
dsc01211
Batu Lumut, Tempat sumber air
Shelter 1
Shelter 1
Aku dan Kiting kembali melanjutkan perjalanan, kami berpamitan dengan Togar dan para pendaki lain yang hendak turun. Medan yang kami lalui dari shelter satu menuju shelter dua kali ini jauh lebih sulit, tanjakan yang panjang dan nyaris tanpa jalan mendatar. Tenagaku benar-benar terkuras di jalur ini, aku benar-benar kelelahan. Tapi Kiting kembali menyemangatiku untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 2 siang Kami sampai di shelter 1 dan melanjutkan perjalanan ke shelter dua setelah beristirahat sebentar.
Terowongan Akar
Terowongan Akar
Ketika sampai di shelter dua sekitar pukul 3 sore, Aku lihat beberapa tenda sudah berdiri disana, ternyata itu adalah tenda milik kawan-kawan pendaki dari Bandung yang kami temui di homestay paiman semalam. Aku dan Kiting kembali ditawari secangkir kopi hangat dan sepotong roti coklat. Aku berhenti dan beristirahat sejenak, kembali aku bertemu dengan porter muda tadi, si porter muda menyarankan kami untuk mendirikan tenda di shelter tiga yang beraada sekitar dua jam perjalanan dari shelter dua ini. Jika kami mendirikan tenda di shelter dua, maka akan cukup jauh untuk mencapai puncak pada pagi hari besok.Aku dan Kiting memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke shelter tiga. Disinilah puncak kesulitan dari track gunung kerinci ini, jalur yang sangat curam dan diawali dengan sebuah terowongan akar-akar pohon yang sepintas sangat mirip goa. Disini kesabaran ku benar-benar diuji, tak jarang aku mengeluh karena jalur yang sangat sulit ini, tapi kembalo lagi aku menyadari bahwa mengeluh tidaklah ada gunanya dan hanya buang-buang tenaga. Aku dan Kiting akhirnya bisa melihat pohon-pohon sudah sedikit jarang, pertanda shelter tiga sudah dekat. Sekitar pukul 5 sore, akhirnya kami sampai di Shelter tiga. Kami segera mendirikan tenda karena sepertinya sebentar lagi akan turun hujan dan hari sudah semakin gelap. Jika mendirikan tenda di shelter tiga ini kita harus sangat hati-hati dan mengikatkan tali tenda ke akar pohon-pohon kecil jika tak mau tenda tercabut oleh angin badai yang sewaktu-waktu bisa datang di ketinggian ribuan meter diatas permukaan laut ini.
Menuju Shelter 3
Menuju Shelter 3
dsc01242
Shelter 3 Gunung Kerinci
Setelah mendirikan tenda dan merapikan barang-barang bawaan. Kami segera memasang flysheet untuk mengantisipasi kebocoran tenda jika sewaktu-waktu terjadi hujan, sedia payung sebelum hujan, istilah pepatahnya. Dan ternyata benar, malam kami di shelter tiga terasa cukup panjang karena ada badai gunung yang dan hujan yang cukup deras, untunglah kami sudah mengantisipasi.
Summit Attack ditemani dinginnya udara kerinci
Summit Attack ditemani dinginnya udara kerinci
Kabut mulai mendatangi
Kabut mulai mendatangi
Tepat pukul 3 pagi aku dibangunkan oleh Kiting untuk bersiap-siap melakukan summit-attack atau perjalanan menuju puncak. Aku keluar dari tenda dan langsung merasakan kulitku ditusuk oleh dinginnya udara dan langsung menghujam sampai ketulangku, benar-benar dingin. Aku segera mengenakkan dua lapis baju dan jaket, sarung tangan serta kupluk sebagai penutup kepala dan telinga. Telinga dangat penting untuk ditutup jika dalam keadaan udara yang sangat dingin ini karena telinga merupakan bagian tubuh yang cukup sensitif. Beberapa saat setelah itu tenda kami di kunjungi oleh porter muda tadi, ternyata dia dan rombongan pendaki dari Bandung telah memulai perjalanan dari shelter dua sejak pukul 2 pagi. Aku dan Kiting Memutuskan untuk menuju puncak bersama dengan porter ini karena dia sudah paham dan tahu betul track menuju puncak. Dikarenakan kabut yang tebal dan jalan yang banyak bercabang dan bebatuan curam yang berbahaya, sangat tidak disarankan mendaki tidak dengan orang yang tahu jalan, suatu keberuntungan bagi kami bertemu dengan porter muda yang baik ini. Kami mulai berjalan meninggalkan tenda dan hanya membawa satu ransek kecil berisi sebotol air dan beberapa cemilan, dan tentu saja yang tak boleh tertinggal, doping alami ku, gula aren.
Berhenti sejenak
Berhenti sejenak
Mentari mulai keluar
Mentari mulai keluar
Summit-attack menuju atap sumatera ini benar-benar sulit. Jalur yang sangat curam dan cadas yang cukup panjang sangat menguras tenaga. Setelah berjalan sekitar dua jam, matahari mulai keluar dari tidurnya dan perlahan mulai menerangi. Aku yang saat itu sedang berhenti sejenak begitu takjub menyaksikan keindahan itu. Puncak sudah terlihat, kurang lebih satu jam lagi kami akan sampai menuju puncak. Kami terus berjalan mendaki cadas kerinci dan sejenak matahari kembali menghilang karena ditutupi kabut yang cukup pekat dan tebal. Sekitar pukul 7 pagi, akhirnya Kami menginjakkan kaki di titik tertinggi pulau sumatera, di puncak gunung api tertinggi di Indonesia, di ketinggian 3805 meter diatas permukaan laut. Perjalanan panjang itu terbayar sudah, lelahku seakan hilang ketika sampai disini.

Menuju Puncak
Menuju Puncak
Cadas Kerinci
Cadas Kerinci
Kabut menyambut
Kabut menyambut
Kabut yang pekat tadi perlahan mulai hilang dan menyibak di ujung barat saja gumpalan awan-awan lembut, tepat disamping aku berdiri langsung Aku saksikan curamnya kawah Gunung Kerinci ini. Disisi selatan aku lihat dari kejauhan Danau Gunung Tujuh yang merupakan Danau Air Tawar tertinggi di Asia Tenggara. Aku takjub dengan segala keindahan ini, dari puncak tertinggi sumatera ini aku menyadari bahwa manusia hanyalah se titik kecil dari alam dan tak ada yang perlu di sombongkan. Dari perjalanan ini aku belajar bahwa sebuah proses yang baik akan mendapatkan hasil yang baik pula. Aku juga belajar tentang sebuah kebersamaan, tentang pertemuan dengan orang-orang baru, tentang kesabaran, tentang menaklukkan ego, dan tentu saja yang paling penting adalah tentang bersyukur. Sungguh perjalanan yang luar biasa memberi banyak pelajaran berharga. Tapi yang terpenting, perjalananku akan sangat indah jika aku sudahi dengan perjalanan pulang yang baik pula, karena kemanapun Aku berjalan, tujuan utamaku tak lain adalah pulang ke rumah dengan selamat.
dsc01387
Sebuah Bonus dari perjalanan, Lembutnya awan dari Atap Sumatera
dsc01375
Sebuah Kebanggaan menjadi bagian dari Bangsa ini, Indoneisa
dsc01284
Sejenak menikmati pemandangan di Atap Sumatera
Dan Pulang adalah tujuan akhir
Dan Pulang adalah tujuan akhir

****NOTE : Jangan Lupa Follow instagram @baratdaya_ untuk melihat foto-foto terbaik dari ku.

Menjamah Indonesia Timur

"Di sisi timur Indonesia, aku temukan Indonesiaku yang sebenarnya"
Di penghujung bulan juli tahun 2016, aku menjalani sebuah perjalanan yang luar biasa, perjalanan yang membuka mata ku tentang betapa kayanya negeri ini. Perjalanan ini tak sekedar liburan semata, juga bukan sekedar kunjungan ke daerah semata. Sebuah perjalanan yang seakan menampar telak di depan wajahku, sebuah perjalanan yang mematahkan argumen-argumen ku sebelumnya tentang orang-orang timur Indonesia.
Hari ke dua puluh empat bulan Juni, sore disudut stasiun pondok cina, aku terpikir untuk melanjutkan perjalananku di Nusantara ini. Sejenak kemudian tiba-tiba saja terlintas di benak ku untuk mendatangi daerah di sisi timur Indonesia. Tapi pikiran itu langsung terpatahkan oleh beberapa pertanyaan dan persoalan. Di otak ku seakan ada dua sisi, disatu sisi sebagai penanya ketidakmungkinan, dan disisi lain sebagai pembela kemungkinan. Sesaat beberapa dialog terjadi dalam pikiranku.
"Ah, Indonesia Timur, jangan mimpi Kau, hanya seorang mahasiswa perantau dari Minangkabau, tak punya uang banyak, bagaimana mungkin bisa pergi ke tempat yang jauh itu?", si penanya ketidakmungkinan bertanya.
Sejenak kemudian si pembela kemungkinan langsung menjawab dengan jawaban meyakinkan, "Hei, ini Kota Metropolitan Kawan, kau bisa mendapat pekerjaan diwaktu libur mu, lalu uang yang kau dapat bisa dijadikan ongkos dan modal untuk perjalanan ini, kau juga masih punya sedikit tabungan Kawan, jangan ragu mengeluarkan uang untuk sebah pengalaman hidup".
Wah, benar juga, aku bisa bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang. Sesaat kemudian si penanya ketidakmungkinan kembali mengaung, "Kalaupun kau bisa berangkat kesana, lalu bagaimana kau bisa bertahan dan pulang kembali? Kau kan belum pernah kesana dan tidak tau bagaimana keadaan disana".
"Ah, itu tak usah kau risaukan, asalkan kau punya niat baik untuk berjalan dan asalkan kau bisa beradaptasi dengan penduduk lokal, tak akan jadi masalah bagimu Kawan. Kau harus ingat, kita orang Indonesia semuanya bersaudara, dimana-mana kau punya kerabat Kawan." Kembali menjawab pertanyaan negatif itu dan seakan meyakinkan aku untuk melakukan perjalanan ini. Sebuah perjalanan dengan penuh ketidakmungkinan yang segera aku mungkinkan.
Tak terasa sudah beberapa menit aku lamunan itu dan ternyata kereta yang aku tunggu sudah berlalu, kereta api rel listrik (KRL) tujuan Jakarta Kota. Artinya aku harus menunggu kereta berikutnya yang datang sepuluh menit kemudian. Telepon genggamku berdering, ternyata ibuku yang menelepon, dari Ranah Minang, kampung halamanku. Aku langsung mengutarakan niatku untuk melakukan perjalanan ke Indonesia Timur. Ibuku hanya berpesan, kemanapun aku berjalan, selalu ingatlah akan kampung halaman yang sebenarnya dan jangan pernah berbuat tidak baik kepada orang lain, karena kalau ingin orang lain baik kepada kita, kitalah yang lebih dulu harus berbuat baik, sesederhana itu saja. Melalui percakapan di telepon tadi, aku juga mendapat sebuah kabar baik yang akan menyokong perjalananku kali ini, tentu saja bukan tentang uang karena aku sudah bertekad untuk tidak meminta uang kepada orang tua untuk keperluan perjalananku, karena memang soal perjalanan ini aku sendiri yang menginginkannya dan harus aku sendiri yang berusaha untuk mencari jalan keluarnya, dan jalan yang aku pilih bukanlah menjadi manja dan menyusahkan orang tua untuk meminta dikirimkan uang rupiah demi rupiah, melainkan aku memilih untuk mencari sendiri rupiah itu dengan bekerja memanfaatkan ilmu yang telah aku dapatkan di bangku kuliah ini. Ibuku mengabarkan ku bahwasanya seorang Paman ku ternyatata berencana untuk merantau ke Ternate, ya Ternate Kawan, Maluku Utara, salah satu pulau di Indonesia Timur. Setidaknya keraguanku soal akomodasi tempat tinggal disana sudah teratasi, aku bisa menginap di rumah Paman ku itu.
Sebulan berlalu setelah sore di Stasiun Pondok Cina itu, akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang untuk membeli tiket perjalanan ku kali ini, dan tujuanku sudah ku tentukan, Maluku Utara, di Timur Indonesia.
Hari ke dua puluh lima dibulan juli, Aku bertolak dari Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta menuju menuju Bandar Udara Sultan Babullah, Ternate, di belahan Indonesia Timur sana. Entah dimana pulau itu, tak pernah aku bayangkan sebelumnya akan seperti apa tempat itu. Di atas pesawat yang aku tumpangi, pandanganku terhanyut akan gugusan awan lembut yang baru saja ditembus pesawat terbang yang aku tumpangi ini,  di kejauhan aku melihat gemerlap kota jakarta dengan lampu-lampu yang semakin lama semakin temaram karena sudah mendekati matahari terbenam. Penerbangan dari jakarta ke ternate akan ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam jika langsung terbang ke Ternate, tapi karena pesawat yang aku tumpangi harus transit terlebih dahulu di Manado, perjalanan ku menjadi bertambah beberapa jam. Tak apalah kataku, setidaknya aku bisa menginjakkan kaki di Manado, menambah daftar kota yang pernah aku kunjungi, walaupun hanya sekedar bandara tempat transit dan berpindah pesawat.
Tiga jam setelah pesawat mengudara, aku sejenak tersentak karena pilot pesawat mengabarkan sesaat lagi pesawat kami akan mendarat di Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi, di Manado. Kulihat jarum jam di jam tangan ku sudah menunjukkan sekitar pukul 10 malam Waktu Indonesia Tengah. Aku memandang keluar jendela, hanya gelap yang aku lihat. Di Bandara ini aku harus menunggu selama kurang lebih 9 jam karena ada keterlambatan jadwal penerbangan.

Keesokan paginya, setelah menunggu cukup lama, akhirnya pesawat yang akan aku tumpangi menuju Ternate mendarat, ternyata untuk menuju Ternate kali ini aku akan menggunakan pesawat yang lebih kecil, sontak aku sedikit terkejut karena memang belum pernah sebelumnya menaiki pesawat kecil ini, perasaan was-was pun mulai muncul. Aku menaiki pesawat dengan kapasitas tak lebih dari empat puluh orang itu, aku duduk dekat dengan kaca jendela. Sesaat setelah pesawat mengudara, aku melihat gugusan pulau-pulau dengan pasir putih yang sangat indah, di sekelilingnya bertebaran terumbu karang warna-warni, gradasi warna biru terang sampai warna biru gelap terlihat jelas, aku tercengang dan terkagum-kagum dengan keindahan gugusan pulau di Manado ini, belakangan aku ketahui kalau itu adalah kawasan Taman Nasional Bunaken yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Bunaken. Sungguh luar biasa sekali, sangat indah dan aku benar-benar kagum akan keindahan Negeri beribu pulau ini, Indonesia.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi Waktu Indonesia Timur, sebentar lagi pesawatku akan mendarat di Ternate, dari jendela pesawat kembali aku saksikan kemegahan alam Indonesia, mulai dari Gunung Gamalama yang menjulang di Pulau ternate, lalu hijaunya Pulau Tidore dengan Gunung Kie Matubu, dan indahnya perairan pulau Maitara diantara keduanya.
Sampai di Ternate aku langsung dijemput oleh pamanku yang sudah aku ceritakan tadi. Ternyata pulau Ternate ini tidak terlalu luas, luasnya hanya sekitar 76 km² dan dihuni sekitar 200 ribu jiwa. Tak terlalu sulit dan tak memakan waktu lama untuk mengelilingi pulau ini. Setelah beristirahat beberapa lama, aku langsung mengelilingi pulau ini dengan menggunakan sepeda motor. Tempat pertama yang aku kunjungi adalah Danau Laguna Ngade, sebuah danau indah yang cukup dekat dengan laut, sungguh sebuah perpaduan yang sangat sempurna antara gunung dan laut.img_0141
Ternyata danau ini berada dalam satu garis lurus dengan pulau Maitara dan Pulau Tidore sehingga aku bisa menyaksikan langsung perpaduan antara danau, hutan, laut, pulau dan gunung di depan pandanganku, sungguh keindahan yang tak terbantahkan dari pulau di Indonesia bagian timur ini. Jika kalian pernah memperhatikan lukisan yang terdapat pada uang kertas pecahan 1000 rupiah, maka inilah tampak aslinya dari lukisan itu, Pulau Maitara dan Pulau Tidore yang dilihat dari Pulau Ternate. Ternate dan Tidore ternyata sangat kaya akan rempah-rempah dan diperebutkan bangsa Eropa di era penjajahan dahulu. Sungguh luar biasa, negeri kaya yang indah.
Perjalananku selanjutnya aku teruskan menuju Danau Tolire, sebuah danau indah di kaki Gunung Gamalama dan terkenal dengan kisah-kisah mistisnya. Konon katanya di danau ini terdapat Buaya Putih yang menurut kepercayaan penduduk setempat merupakan penjaga dari Danau Tolire. Berbeda dengan kisah mistis lainnya, konon kata seorang warga sekitar 'Buaya Putih' tersebut kerap kali muncul ke permukaan dan menampakkan diri pada sore hari. Cerita lain yang cukup unik dari danau ini adalah jika kita melemparkan batu sekuat tenaga kita ke arah danau, maka kita tidak akan bisa melihat percikan air dari lemparan batu kita, ada juga yang mengatakan bahwa batu kita tidak akan sampai ke permukaan air.


Danau Tolire dengan cerita mistisnya
Danau Tolire dengan cerita mistisnya
img_0238
Merasa penasaran dengan cerita itu, Aku pun mencoba melemparkan beberapa buah batu. Aku melempar dengan sekuat tenaga yang masih tersisa, aneh bin ajaib, aku tak melihat batu yang aku lempar mendarat di permukaan air Danau Tolire. Baru pada lemparan kedua aku menyadari kalau sebenarnya batu yang aku lemparkan meski sudah dengan sekuat tenaga hanya sampai pinggiran danaunya saja, padahal ekspektasiku akan mencapai bagian tengah danau dan mataku tertuju pada posisi tersebut sehingga aku mengabaikan bagian pinggir danau. Hal ini dikarenakan jarak yang sebenarnya cukup jauh dari posisi melempar batu dengan permukaan danau, namun karena perspektif terlihat lebih dekat.
Kita tinggalkan Danau Tolire dengan segala kisah mistis dan cerita misterinya, biarkan itu menjadi sebuah keunikan yang perlu kita usik. Perjalananku selanjutnya berlanjut menuju pulau diseberang Ternate, Pulau Tidore namanya. Aku segera menuju pelabuhan penyeberangan Bastiong. Di daerah Indonesia Timur kebanyakan, khususnya di Tidore, laut sudah menjadi teman yang akrab bagi orang-orang disini. Transportasi laut seperti perahu dan kapal motor adalah transportasi yang paling  diandalkan disini. Dari pelabuhan Bastiong aku menumpangi kapal motor, dengan hanya membayar ongkos lima ribu rupiah dan ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit, aku sudah menginjakkan kaki di Pelabuhan Rum, Pulau Tidore.
img_0379
Kapal Motor dari Ternate menuju Tidore
Di Tidore aku sudah ditunggu seorang teman dari Paman ku yang akan menemaniku berkeliling pulau Tidore. Pulau ini juga tak terlalu luas, hanya sedikit lebih luas dari Pulau Ternate, tapi bedanya dengan Ternate adalah, di Tidore tidak terlalu banyak orang yang tinggal, Pulau ini lebih sepi dan damai menurutku, bebas dari hiruk pikuk Kota. Aku lirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Tak mau buang-buang waktu aku dan teman Paman ku, Kaka Robert langsung menuju Desa Gurabunga, sebuah desa diatas awan katanya. Desa Gurabunga adalah sebuah desa yang terletak di Gunung Kie Matubu. Begitu sampai di Desa Gurabunga, kabut tipis langsung menyambut kedatangan kami. Udara disini sangat segar dan dingin sekali, benar benar desa diatas awan ternyata. dari desa ini aku bisa memandang jelas hamparan laut maluku utara dan disisi lain ada puncak Gunung Gamalama di Ternate.
img_0438
Kabut tipis di Desa Gura Bunga
Sehabis menikmati kesegaran udara dan kabut tipis di Desa Kie Matubu, Aku dan Kaka Robert beranjak menuju sisi barat Pulau Tidore. Inilah momen yang aku tunggu-tunggu, menyaksikan menanti matahari tenggelam di bagian Indonesia Timur. Pengalaman pertama setelah hampir dua puluh tahun hidup di Indonesia akhirnya aku menginjakkan kaki di tempat ini, di Indonesia Bagian Timur, Tidore. Tepat di sebuah tikungan disisi barat pulau Tidore, aku langsung disuguhi megahnya Gungung Gamalama di Ternate. Jika sebelumnya aku meyaksikan hijaunya pulau Tidore dari Ternate, sore ini aku menyaksikan megahnya senja di Ternate dilihat dari Tidore.
img_0596
Senja di Timur Indonesia
Sungguh perjalanan yang memiliki banyak makna, perjalanan yang mengubah pandanganku akan Nusantara. Tak disangka akhirnya aku, seorang mahasiswa perantau dari Ranah Minang akhirnya benar-benar menginjakkan kakiku disini, di Indonesia bagian timur. Memang benar ternyata apabila sebuah niat yang baik akhirnya akan menemukan jalan yang baik pula. Dan akhirnya Ternate dan Tidore kembali menambahkan sejarah baru dalam hidupku.
img_0595
Gunung Gamalama di senja dari Tidore